Tingkat Kematian COVID19 Rendah?

Tingkat Kematian COVID19 (Mortalitas) Rendah?


Oleh Pak Ahmad
Photo by Tim Cooper on Unsplash

Maksudnya rendah?


Dari kacamata epidemiologi "rendah" itu bisa dilihat dari jumlah angka aktual atau dari persentase.

Coba kita pelajari angka kematian (angka aktual dan persentasenya) dari beberapa penyakit menular di Indonesia sebelum kita tengok COVID19

Tuberculosis TBC disebabkan oleh kuman bakteri Mycobacterium Tuberculosis
Jumlah aktual kematian di Indonesia 67 ribu per tahun
Menurut WHO di tahun 2018 jumlah kasus TB 845 ribu, yang meninggal 93 ribu.
Persentase kematian 11%.

Demam Berdarah disebabkan oleh Virus Dengue
Hingga Februari 2020, Jumlah kasus 6,639 dengan jumlah aktual kematian di Indonesia 49 jiwa
Angka ini lebih rendah dibanding tahun lalu dimana terjadi 160 ribu dengan kematian 10 ribu.
Namun, kalau kita lihat di Nusa Tenggara Timur (NTT), saat ini sedang ada KLB (Kejadian Luar Biasa) meliputi tiga kabupaten. Kemarin saja, di NTT 25 korban DB meninggal dan 2,400 orang masih dirawat.

Secara persentase kematian kasus DB tahun ini 49 per 6639 atau 0.7%. Sedangkan di NTT persentasenya adalah 1%.

Jadi ketika kita melihat angka, baik itu angka aktual dan angka persentase, kita juga harus melihat konteks. Apakah itu dari keseluruhan kasus, atau ada konteks lokal. Itu sebabnya NTT dinyatakan adanya KLB karena 50% lebih kasus nasional terjadinya di NTT, demikian juga proporsi korban yang meninggal separuhnya juga di NTT.

Pengendalian Penyakit

Tentu saja epidemiologi tidak hanya melihat angka aktual maupun persentase, tapi juga dampak sosialnya juga. Dampak dari adanya angka ini juga terkait dengan infrastruktur fasilitas kesehatan. Jadi menyikapi angka 'rendah' itu juga harus melihat dampak dari angka 'rendah' itu.

TBC dan DB terkait erat dengan sanitasi lingkungan. Kita juga sudah tahu sumber penyebabnya. TBC akibat kuman TB, dan DB akibat virus dengue yang dibawa nyamuk. Maka penanganan TB juga terkait dengan kualitas gizi dan higenitas. DB terkait pengendalian lingkungan sehingga digalakkan gerakan jumantik di setiap RT dan RW. Tatalaksananya juga sudah banyak diketahui. Hanya saja memang masalahnya bukan cuma pengobatannya, tetapi juga aspek ekonomi (gizi faktor risiko TB) dan sosial (urbanisasi penduduk sehingga limbah got tidak lancar sehingga menjadi sarang nyamuk Aedes agypti vektor DB).

COVID19: new kids on the block

Ini masalahnya. Kita baru tahu sedikit. Sedangkan tabiat manusia itu tidak suka dengan perihal yang tidak bisa dia prediksi, karena manusia menyukai kepastian. Dia perlu tahu bagaimana terjadinya, mencegahnya, mengobatinya. Oya dan tentu saja, "berapa duit"

Berbeda dengan TBC dan DB yang kita sudah banyak pengalaman, COVID-19 itu memang enigma. Penyebarannya jauh lebih cepat dan lebih lama dibandingkan penyakit yang disebabkan oleh sepupunya SARSCov2 yaitu SARS-Cov (penyebab SARS) dan MERS-Cov (penyebab MERS)




Tingkat Kematiannya?

Secara total tingkat kematiannya sekitar 2-3%, dari 100 orang yang terinfeksi SARS-Cov-2, maka 2 atau 3 orang akan meninggal. Bandingkan dengan SARS 10% dan MERS 30%. Jadi sesama coronavirus, dampak kematiannya memang bisa dibilang rendah, bukan.

Apalagi ketika dibandingkan dengan TBC (sekitar 10%) atau jumlah kematiannya di Asia Tenggara masih kecil (per hari ini 1 meninggal dari 182 kasus terkonfirmasi) yaitu 0.5%. Masih lebih kecil dari wabah DB di NTT baik sekitar jumlah kematian 25 dan persentasenya 1%.

Lalu apakah perlu kuatir COVID-19?

Di sini penting untuk memahami data. Benar persentase kematian memang relatif rendah (titik tekan pada kata 'relatif'), yaitu 2-3%. Tapi tergantung usia juga. Persentase ini melonjak hingga 14% apabila SARS-Cov2 ini menyebabkan COVID19 pada kelompok lansia (3,6-14.8%).

Di awal wabah atau 1 bulan pertama (Desember-awal januari), tingkat kematian di pusat wabah yaitu kota Wuhan (terlepas dari usia) tingkat kematian malah mencapai 15%.


Kita tentu bersyukur bahwa persentase kematian bisa menurun, terutama di luar Cina. Namun, ini juga tergantung tingkat kesiapan lokal. Beberapa hari yang lalu negara bagian Washington Amerika Serikat mengumumkan 18 kasus positif Covid19 dan 6 meninggal. Tingkat kematiannya berarti mendekati 30%!

Ketika dinyatakan bahwa 80% individu yang terinfeksi SARS-Cov2 hanya mengalami flu ringan, bagaimana dengan sisanya?

Inilah masalahnya. 20% itu gabungan jumlah individu yang mengalami sesak nafas serius, kritis (14-17%) dan meninggal (2-3%).

Pertanyaannya, apakah individu yang mengalami sesak nafas tadi memang bisa sembuh sendiri, atau memang ada perjuangan yang luar biasa untuk menyembuhkannya?

Kita tidak bisa menutup mata, bahwa angka persentase kematian 'hanya' 2-3% itu bukan angka pasien yang sembuh sendiri. Mereka dirawat di ruang khusus, lengkap dengan piranti canggih, dan tim medisnya menggunakan alat pelindung masker super ketat.

Kita bisa membayangkan, seandainya kita membiarkan saja semua kasus sesak nafas dan berharap bisa 'sembuh sendiri' , apakah angka kematian bisa bertahan di angka 2-3%? jangan-jangan melonjak hingga 20%? Di sinilah kerumitan yang dihadapi otoritas kesehatan di seluruh dunia.

Gejala yang ditampakkan sangat umum, flu, demam, batuk, dan biasanya sesak nafas. Plus tambahan citra radiologis penampakan 'ground glass'. Padahal sekarang memang musimnya flu.

Lalu bagaimana membedakannya dengan kasus COVID-19? Di sini standar emas yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan CDC Cina adalah hasil tes RTPCR. Masalahnya pengambilan sampelnya untuk diuji dengan RTPCR tidak semudah mengambil darah, karena virus ini bukan HIV yang mentargetkan sel darah putih di darah. Virus SARSCov2 ini perlu diburu di tenggorokan, nasal, dahak/sputum, atau di Bronchoalveolar Lavage. Maka standar minimal pengambilan sampelnya adalah dengan Nasal dan/atau Throat Swabs.

Gambar; Pengambilan Nasal Swab

Maka kunci menghentikan transmisi virus ini adalah pembatasan kontak manusia dengan manusia melalui strategi surveilans. Terinfeksi SARS-Cov2 bukanlah suatu dosa. Apalagi bagi individu muda dibawah 60 tahun, besar kemungkinan hanya menimbulkan gejala flu ringan. Akan tetapi informasi status SARS-Cov-2 ini membantu untuk membatasi penyebaran lebih lanjut. Apabila ada individu muda yang tidak menyadari dirinya sudah membawa virus ini di aliran pernafasannya, maka dia akan menyebarkan ke komunitasnya tanpa dia sadari. Satu individu ini disebut Superspreader. Dan korban dengan kemungkinan tersebar meninggal adalah mereka yang berusia lebih dari 60 tahun.




Vaksin dan obat anti COVID19 memang masih dikembangkan. Namun untuk saat ini strategi surveilans perlu memperluas cakupan tes yaitu pada individu yang pernah bepergian ke atau bersinggungan dengan orang dari area wabah (dari Cina misalnya) meskipun mereka sendiri tidak atau belum bergejala.



Komentar

Postingan Populer