"Saya kan orang baik, kenapa terinfeksi HPV, jangan-jangan... "


Oleh: Pak Ahmad

Dalam suatu seminar kesehatan pencegahan kanker dan deteksi dini, seorang peserta bertanya dengan mimik serius, kira-kira begini pertanyaannya ” Kalau HPV penyebab utama kanker serviks tertular secara seksual, bagaimana mekanisme penularannya, bagaimana menjelaskannya pada pasutri, ketika si isteri terkena kanker serviks?”



Ini pertanyaan penting untuk dijelaskan secara tepat mengingat ada semacam stigma di kalangan khalayak umum bahwa HPV (human papiloma virus) ditularkan melalui hubungan seksual akibat pergaulan bebas, perselingkuhan, dan perilaku seks menyimpang. Sedangkan bagi pasutri yang setia dengan pasangannya, maka diagggap aman dari infeksi HPV dan mengidap kanker serviks.

Apakah benar demikian?

Stigma bahwa wanita penderita kanker serviks merupakan korban perselingkuhan suaminya atau 'hukuman' atas perselingkuhan dirinya dengan pria lain perlu dihilangkan. Satu-satunya jalan untuk benar-benar aman dari kanker serviks adalah tidak berhubungan seks sama sekali. Hal ini merupakan observasi terlama dari studi epidemiologi oleh Bernardino Ramazzini sejak abad ke-18 di Italia yang mencatat fakta bahwa para biarawati jarang sekali yang meninggal akibat kanker serviks, namun mereka rentan terkena kanker payudara.

Lalu bagaimana menjelaskan bahwa kepada pasutri bahwa pasangan yang setia kepada pasangannya juga beresiko terinfeksi HPV, penyebab utama kanker serviks?

Virus penyebab kanker serviks berada di mana-mana. Studi Strauss di tahun 2002 menunjukkan bahwa HPV bahkan ditemukan di gagang pintu. Studi lanjutan oleh Smelov et al 2013 dari Karolinska Institute di Swedia melakukan survey toilets di 23 bandara internasional 13 negara eropa. Temuannya adalah 22% dudukan toilet telah terkontaminasi dengan HPV. Dua studi ini menunjukkan bahwa keberadaan HPV ini sangat umum dan mudah ditemukan.

Hanya saja tanpa adanya kontak seksual, HPV tidak bisa menembus kulit manusia. Lain halnya, ketika kontak atau hubungan seksual dimana terjadi “robekan kecil” atau microlesions di bagian dalam organ intim, maka HPV pun dengan mudah menyelinap dan menginfeksi sel targetnya. Artinya, meski hanya sekali saja dalam seumur hidup seorang wanita bahwa dia pernah berhubungan seksual maka sekejap itu pula dia telah beresiko, karena seks membuka jalan bagi virus untuk masuk.

Maka akan menjadi musibah epidemiologi apabila para pasutri baik-baik enggan melakukan deteksi dini papsmear dan/atau tes HPV mengingat betapa mudahnya kanker serviks dicegah apabila semua wanita yang telah berhubungan seksual rutin deteksi dini. 

Namun kesadaran masyarakat mengenai pengetahuan terjadinya kanker serviks tidaklah cukup untuk menurunkan insiden kanker serviks.

Berikut adalah beberapa hal yang perlu dicermati.

1. Hentikan stigma pergaulan bebas. Agama Islam melarang umatnya untuk ber-su'udzon, apalagi menduga-duga bahwa seseorang telah berlaku zina. Bahkan hukuman cambuk bisa diterapkan pada seseorang yang menuduh wanita beriman melakukan zina. Pasien kanker serviks tidak membutuhkan celaan, namun perlu mendapatkan dukungan tanpa syarat, agar tetap semangat. Apalagi dengan kesabarannya, pahala besar tentu menanti dan bisa menjadi inspirasi bagi pasien lainnya. Penghapusan stigma bahwa kanker serviks adalah akibat pergaulan bebas perlu dilakukan sebagaimana yang dituturkan oleh seorang penyintas kanker serviks di laman blognya.   

2. Libatkan peran aktif suami
Sudah menjadi "peraturan" tidak tertulis bahwa urusan sekolah anak, entah rapat atau pertemuan wali murid, mayoritas yang dating adalah para ibu. Padahal urusan anak itu perlu kehadiran ayah dan ibunya. Demikian pula penyuluhan dan pencegahan kanker serviks dan payudara, mayoritas yang hadir juga kaum ibu. Di seminar yang sama tadi, dilakukan survey kecil-kecilan. Dan hasilnya, para ibu-ibu paham betul bahwa wanita yang tidak berhubungan seksual mereka aman dari kanker serviks.  Meskipun kanker serviks memang menyerang organ yang dimiliki wanita, tidak berarti para suami bisa lepas tangan.

Bisa dibayangkan betapa sibuknya para ibu-ibu. Sepulang dari acara penyuluhan, mayoritas para ibu akan kembali ke rutinitas: mencuci, membersihkan rumah, menyiapkan sarapan anak dan suami, mencuci baju, mensterika, belum lagi mengerjakan tugas kantor, pokoknya super-mom deh. Kapan ada waktu untuk ke dokter untuk deteksi dini sebagaimana yang mereka ketahui? Lalu apa gunanya pengetahuan yang mereka miliki, namun tidak bisa (atau tidak ada waktu untuk) ditindaklanjuti?Image result for super mom
Pengurusan anak dan isteri, termasuk kesehatan dan pendidikannya, adalah tanggung jawab para suami. Maka penting bagi para suami untuk mendorong dan mengantar isteri melakukan tes deteksi dini, entah itu IVA, papsmear, LBC (liquid based cytology), dan/atau tes DNA HPV. Studi oleh Kurniawati 2015 pada 65 responden juga membuktikan bahwa motivasi suami berperan penting untuk mensuksekan program pencegahan kanker serviks. Sebagaimana Quran juga menegaskan bahwa Laki-laki adalah pelindung/pengurus bagi kaum wanita (arrijalu qawwamuna alan nisa).
Image result for antar isteri ke dokter

3. Wajibkan program pencegahan nasional
Kanker serviks, sebagaimana kanker paru, adalah sangat bisa dicegah. Namun memerlukan skala Negara untuk turut serta. Paradigma pencegahan harus mulai menjadi prioritas ketimbang anggaran pengobatan. Bagi para gadis yang belum menikah, vaksinasi HPV tentu menjadi penting dan pemprov DKI sudah memulainya untuk para gadis yang duduk di bangku SMP. Sedangkan bagi wanita atau tepatnya para isteri yang telah berusia 30 tahun ke atas, perlu diwajibkan untuk deteksi dini. IVA atau Papsmear setiap tahun, atau kombinasi LBC dan deteksi DNA HPV setiap 3-5 tahun sekali. Itu kalau serius menjadikan kanker serviks sebagai sejarah masa lalu.

4. Terapkan teknologi terbaik
Program pencegahan kanker serviks memang masih jauh dari ideal. Cakupan partisipasi masyarakat untuk melakukan tes IVA, sebagai tes deteksi dini termurah hanya baru diikuti kurang dari 2% dari target skrining. Padahal untuk benar2 melindungi para wanita cakupan deteksi ini harus jauh lebih besar dari itu. Namun penyelenggara Negara perlu menyediakan dan/atau menfasilitasi diterapkannya

teknologi terbaik. Saat ini teknologi biologi molekuler untuk deteksi DNA HPV berbasis PCR tidak terlalu sulit untuk dilakukan apalagi lulusan program biomedis dari banyak kampus ternama sudah banyak bekerja di berbagai laboratorium negeri maupun swasta. Hanya saja biaya cukai terhadap impor Taq polymerase sebagai reagen atau enzim kunci dalam proses PCR masih terlalu mahal. Maka perlu roadmap penelitian dan insentif terhadap proyek penelitian yang memprioritaskan teknik deteksi dini dan pembuatan alat kesehatan deteksi HPV yang cost effective agar program pencegahan naisonal bisa berjalan dengan teknologi terbaik, bukan sekedar teknologi termurah.

5. Meskipun para pasutri baik-baik tidak bisa menghindari dari resiko infeksi HPV, perlu diakui bahwa perilaku seks menyimpang seperti anal intercourse yang bisa berujung kepada infeksi HIV juga meningkatkan kesempatan untuk terinfeksi HPV. Untuk itu penerapan teknologi, edukasi, dan juga penyadaran untuk taat kepada syariat agama perlu berjalan bersama-sama.

Wallahu a'lam bi ash showab














Median age kanker serviks 49 tahun: https://www.cdc.gov/cancer/hpv/statistics/age.htm Median age kanker payudara 62 tahun: https://ww5.komen.org/BreastCancer/GettingOlder.html Stigma pergaulan bebas penyebab kanker serviks : https://cegahkankerserviks.org/hindari-stigma-kanker-serviks-karena-pergaulan-bebas

Komentar

Postingan Populer