Terapi target kanker payudara tidak dijamin BPJS?

Ramai media massa membahas kisah pasien kanker payudara yang tidak bisa lagi mendapatkan jaminan pengobatan biaya trastuzumab, obat terapi target kanker payudara.

Dalam terapi kanker, tidak bisa dipungkiri adanya faktor uang. Kalau efek samping kemoterapi berskala 0-4, dimana 4 adalah faktor toksisitas terberat, maka toksisitas keuangan bisa dijadikan skala 5.

Hanya saja pertanyaannya apakah uang yang dikeluarkan memang sebanding dengan apa yang didapatkan. Sebagai peneliti kanker, kami dididik bahwa terobosan terapi terbaru bagi pasien kanker dengan perbedaan hasil enam bulan saja dibanding terapi konvensional, itu bisa membeli waktu yang tidak terbeli uang, melihat anaknya wisuda, menimang cucunya lahir, menjadi saksi keponakannya menikah, dan pergi jalan-jalan sehingga hidup --kalaupun berakhir-- bisa tetap memiliki dignity.

Trastuzumab dan HER2

Trastuzumab sendiri adalah contoh bagus hasil penelitian biomedis yang mentargetkan kanker sesuai karakternya, atau secara kekinian Precision Oncology atau Personalized Medicine. Akhiran 'mab' dalam trastuzumab berarti monoclonal antibody (antibodi monoklonal). Obat ini ketika disuntikkan melalu infus, akan mencari sel apapun yang punya banyak protein HER2 di permukaannya. Sebagaimana rudal pintar, antibodi ini akan mentargetkan HER2. Penemunya adalah dokter Denis Slamon, dan kisahnya pun menjadi film "Living Proof".

Kanker payudara tidak tercipta sama, ia terbagi menjadi tiga tipe besar: kanker payudara luminal, HER2, dan basal. Pembagian tipe kanker payudara ini wajib dilakukan umumnya dengan teknik imunohistokimia (IHK) untuk semua pasien yang baru saja di diagnosa kanker payudara. Pemeriksaan IHK mendeteksi tiga penanda biologis yaitu ER (Reseptor Estrogen), PR (Reseptor Progresteron), dan HER2.

Walhasil, tipe luminal adalah kanker dengan ER dan/atau PR terekspresi positif, tipe HER2 mengekspresikan HER2, sedangkan tipe Basal adalah tipe dimana tiga penanda biologis (biomarker) tidak terekspresi semuanya.

Mengapa klasifikasi kanker payudara ini penting? Karena ini menyangkut strategi terapinya. Kanker payudara tipe luminal masih bisa diterapi dengan anti hormon, sedangkan tipe basal harus dengan kemoterapi karena sudah kebal terapi anti hormon. Target trastuzumab adalah protein HER2 pada pasien yang bertipe HER2 tadi. Jadi obat ini memang tidak buat semua pasien kanker, tapi hanya untuk sekitar 20% pasien kanker payudara (dan juga pasien kanker lambung) yang telah mengalami overekspresi HER2 (rerata populasi pasien kanker payudara dunia). Namun di Indonesia, prevalensi pasien kanker payudara dengan tipe HER2 bisa mencapai hampir separuh pasien kanker payudara baru (Ng CH et al, 2011).
Contoh Hasil Pemeriksan HER2 dengan teknik imunohistokimia. Pasien dengan hasil HER2 3+ bisa diterapi dengan trastuzumab

HER2 sendiri adalah gen yang menyandi protein HER2 yang terletak di membran sel dan berfungsi untuk menangkap sinyal pembelahan sel. Dalam proses fisiologis payudara, pembelahan sel penting untuk menyiapkan kelenjar susu. Dalam proses pertumbuhan payudara, sel epitel payudara tidak hanya harus bisa memperbanyak diri tapi dia juga harus bisa "menggerus" jaringan lemak dan membentuk jaringan susu.

Kemajuan bioteknologi dibidang kedokteran, atau dikenal dengan rumpun ilmu Biomedis sangat membantu peneliti untuk mempelajari fungsi gen seperti HER2. Untuk mempelajari fungsi gen, peneliti menggunakan teknologi rekayasa genetika. Pertanyaan penelitian mereka adalah," apa kira-kira yang terjadi pada makhluk hidup ketika gen ini kita modifikasi secara sengaja? Akankah menderita kanker?"

Gen yang akan dipelajari akan dimodifikasi sehingga jumlahnya menjadi banyak, atau dihilangkan sama sekali. Umumnya dosis gen kita ada 2 (dua) kopi, satu kopi dari ayah, dan satu kopi dari ibu. Logikanya, keseimbangan fisilogi akan terganggu, ketika dosis gen dirubah: lebih dari dua kopi atau malah dihilangkan dua kopi tersebut sekaligus. Gangguan fisiologis ini bisa berdampak dengan wujud timbulnya penyakit. Dengan sengaja merubah gen, maka peneliti bisa dengan cermat mempelajari hubungan mekanisme sebab akibat terjadinya kanker akibat kerusakan atau modifikasi gen secara spesifik.

Idealnya rekayasa genetika ini dilakukan pada manusia, tapi karena tidak ada manusia sehat yang mau direkayasa gen-nya untuk diamati 'nasib' fenotipnya sekitar 10-15 tahun ke depan, maka peneliti menggunakan mencit (hasil penelitian bisa relatif singkat disimpulkan mengingat kanker biasanya tercetus di usia senja). Sebagai catatan, umur mencit paling lama 2 tahun, bandingkan dengan umur manusia yang  bisa mencapai 70 tahun. Karena mencit dan manusia adalah sama-sama mammalia, maka struktur gen mereka cukup mirip, demikian juga susunan gen HER2nya.
Contoh Rekayasa Genetik pada Mencit untuk mempelajari dampak modifikasi gen pada makhluq hidup

Fenotip sel epitel mencit yang sudah di rekayasa kehilangan dua kopi gen HER2 menunjukkan masalah dalam pertumbuhan kelenjar susu akibat ketidakmampuanya dalam men-penetrasi jaringan lemak.
Tampak pada gambar sisi kiri adalah kelenjar payudara mencit pada sel dengan gen HER2 yang masih normal, sedangkan pada sisi kanan adalah kelenjar dengan HER2 yang sudah dihilangkan dengan teknik rekayasa genetik. Perbedaan ini menunjukkan pentingnya gen HER2 dalam fungsi tumbuh kembang kelenjar payudara. Ref: Jackson-Fisher AJ, Bellinger G, Ramabhadran R, Morris JK, Lee K-F, Stern DF. ErbB2 is required for ductal morphogenesis of the mammary gland. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 2004;101(49):17138-17143. doi:10.1073/pnas.0407057101.


Lalu bagaimana nasib mencit yang gen HER2 nya diperbanyak melalui rekayasa genetik? Hasilnya pun mirip seperti manusia. Mencit yang gen HER2 nya terlalu banyak turut menderita kanker payudara ganas.

Bagi sekitar 20% pasien kanker payudara (atau hampir 45% pasien kanker payudara Indonesia), gen HER2 mereka mengalami amplifikasi dan/atau terjadi overekspresi protein HER2. Jumlah kopi gen HER2 lebih dari dua.
Mengingat fungsi protein HER2 pada percobaan mencit adalah untuk melakukan penetrasi ke kelenjar lemak, maka produksi berlebihan protein HER2 pada kasus kanker payudara bisa menjelaskan efek agresif HER2 dalam menginvasi jaringan normal.

Mengingat kanker payudara tipe HER2 ini memiliki karakter yang khas, maka dibuatlah obat trastuzumab ini. Logikanya, trastuzumab akan mengenali protein HER2 sehingga menghambat sinyal pembelahan sel kanker.
Ref: https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp058197

Oya kenapa gen ini dinamakan HER2? Pertanyaan tentang definisi ini sebenarnya adalah pertanyaan yang tidak kreatif. Tapi okelah, bagi penyuka sejarah seperti saya, memang ada bagusnya dikepoin. Ini penjelasannya.

Efektifkah trastuzumab?

Terapi kanker memerlukan pembuktian melalui uji klinis untuk menyatakan bahwa obat A atau B memang efektif.

Namun pertanyaannya, "efektif" dalam arti apa?

Apakah efektif berarti menyembuhkan? memperlambat kekambuhan? meningkatkan kualitas hidup? apakah biaya yang dikeluarkan memang "pantas" untuk mendapatkan itu semua? Kalau iya, siapa yang menanggung?

Salah satu ukuran sembuh bagi penyintas kanker payudara bebas dari kekambuhan selama 10 tahun. Bagi pasien kanker payudara stadium awal, pemeriksaan 70-gen (atau disebut Mammaprint) bisa memberikan gambaran apakah pasien memerlukan kemoterapi untuk bisa bebas kekambuhan selama 5 atau 10 tahun.

Di masa kapitalisasi terapi kanker, memang semua pihak harus bertanggungjawab untuk tidak mengeksploitasi pasien kanker dan keluarganya. Klaim penyembuhan sapu jagad untuk menyembuhkan semua jenis kanker tidak akan membantu apa-apa kecuali kekecewaan alias PHP (pemberian harapan palsu).

Uji klinis trastuzumab, bagaimana ceritanya?

Trastuzumab untuk kanker payudara stadium lanjut (metastasis)

Ketika Dokter Dennis Slamon merancang uji klinis dan melaporkannya di NEJM (New England Journal of Medicine, jurnal premier untuk laporan penelitian medis) tahun 2001, ia membagi 469 pasien kanker payudara dengan status HER2 positif stadium lanjut (yang sudah metastasis) menjadi dua kelompok.
Kanker payudara stadium lanjut (metastasis)
Kelompok pertama diberikan kemoterapi saja, sedangkan kelompok kedua diberikan kemoterapi dan trastuzumab (nama komersilnya adalah herceptin).

Lalu ada tiga hal yang diukur dokter Slamon (yang diperankan Harry Connick Jr dalam film Living Proof mengisahkan kisah nyata uji klinis ini).

1. Respon kanker (Response Rate)
2. Waktu menjelang Kekambuhan (Time to Disease Progression)
3. Waktu menjelang Kematian (Kematian akibat penyakit)

Pasien yang diberikan kemoterapi saja mengalami kekambuhan dalam 4,6 bulan, sedangkan pemberian kemoterapi dan trastuzumab mengalami perlambatan kekambuhan hingga 7,4 bulan. Meski hanya berbeda 3 bulan, tapi secara statistik memang berbeda bermakna.

Persentase pasien yang kankernya mengecil atau menghilang karena kemoterapi saja sekitar 30%. Sedangkan penambahan trastuzumab bisa menaikkan persentase pasien hingga 50%. Kenapa tidak 100%? Data persentase ini mengajarkan kita bahwa tidak semua pasien kanker payudara dengan HER2 positif pasti memiliki respon terhadap trastuzumab.Maka penting untuk mengkomunikasikan data klinis seperti ini dengan akurat, tanpa overselling, atau berlebihan seakan-akan trastuzumab adalah obat ajaib.

Kini diketahui sebagian pasien kanker payudara HER2 positif  ternyata memiliki mutasi tambahan di gen lain seperti PIK3CA dan jalur aktivasi gen lain yang masih dalam penelitian. Mutasi atau aktifasi gen lain bisa menimbulkan resistensi terhadap trastuzumab yang membuatnya tidak lagi efektif.

Ukuran terakhir dalam penelitian ini adalah waktu menjelang kematian (Overall survival). Separuh pasien yang diberikan kemoterapi saja meninggal dalam kurun 20 bulan, sedangkan yang diberikan kombinasi kemoterapi dan trastuzumab sekitar 25 bulan (dimana secara statistik memang bermakna). Artinya, penambahan trastuzumab bisa menambahkan 5 bulan sebelum pasien meninggal. Kedua, perlu diingatkan bahwa yang dipantau adalah angka median Overall Survival.

Tidak berarti semua pasien yang diberikan trastuzumab akan meninggal dalam 25 bulan. Bukan itu. Yang dimaksud dengan data median overall survival adalah separuh pasien atau 50% pasien telah meninggal dalam kurun 25 bulan ketika diberikan kemoterapi dan trastuzumab. Ini dibandingkan dengan separuh pasien atau 50% pasien akan meninggal ketika diberikan kemoterapi saja dalam waktu 20 bulan. Maka nampak ada perbedan bermakna statistik sekitar 5 bulan.

Dari data ini memang cukup dilematis, apakah pemberian trastuzumab pada kanker payudara stadium lanjut/metastasis dengan biaya 425 juta rupiah akan menambahkan kesintasan sekitar 5 bulan bisa diterima "publik"? Untuk di negara maju seperti Amerika, memang sudah ditanggung penuh oleh asuransi. Sementara untuk negara lain, perhitungan trastuzumab difokuskan pada stadium awal.

Trastuzumab untuk kanker payudara stadium awal

Secara operasional kanker payudara stadium awal meliputi stadium I, II, dan III kecuali IV (metastasis). Secara umum, kelangsungan hidup pasien lima-tahun (5-year overall survival) setelah diagnosa dengan stadium awal lebih baik daripada stadium lanjut. Persentase 5-tahun kesintasan pasien kanker payudara stadium 1 dan 2, 3, dan 4 adalah 90%, 70%, dan 20%.
Stadium Kanker Payudara dan Kesintasannya

Penambahan trastuzumab pada kemoterapi untuk kanker payudara stadium awal memberikan manfaat baik dalam memperlambat terjadinya kekambuhan dan kesintasan (overall survival atau kelangsungan hidup).

Penelitian penggunaan trastuzumab pada kanker payudara yang diterapi di rumah sakit M Jamil (Padang) dan rumah sakit kanker Dharmais (Jakarta) menunjukkan bahwa pemberian trastuzumab selama 12 bulan memberikan dampak bermakna dalam memperlambat kekambuhan (disease free survival) selama 63 bulan, sedangkan trastuzumab selama 6 bulan hanya mampu memperlambat 54 bulan,. Artinya, ada sekitar penambahan 9 bulan bebas dari kekambuhan (bermakna secara statistik, Arif WA et al 2017). Akan tetapi kelangsungan hidup secara keseluruhan tidak berbeda bermakna, dimana pemberian trastuzumab selama 12 bulan berakhir dengan kesintasan 62 bulan, sedangkan pemberian selama 6 bulan 57 bulan, berbeda 5 bulan.

Kenapa 6 bulan diteliti? karena saat itu BPJS hanya menanggung pemberian trastuzumab selama 8 siklus atau 6 bulan. Data ini juga menunjukkan kerumitan untuk menyeimbangkan antara biaya dengan hasil yang diharapkan pasien dan keluarganya. Pemberian selama 6 bulan tidak memberikan efek maksimal, padahal standar tatalaksana pemberian trastuzumab minimal adalah 12 bulan berdasarkan penelitian Goldhirsch et al 2013 dalam studi HERA.

Bagaimana kalau pasien kanker payudara stadium awal hanya diberikan kemoterapi saja, tidak diberikan trastuzumab? Kita bisa belajar dari hasil penelitian NCCTG N9831 and NSABP B-31 yang melibatkan lebih dari 4,000 pasien kanker payudara stadium awal (tanpa metastasis) yang dibagi 2 kelompok secara acak: kemoterapi vs kemoterapi plus trastuzumab selama 1 tahun.

Setelah dipantau selama 4 tahun atau 48 bulan, pada kelompok pasien yang diberikan kemoterapi saja, kekambuhan terjadi pada 27% pasien. Sedangkan pada kelompok pasien yang diberikan kemoterapi dan trastuzumab, kekambuhan terjadi pada 15% pasien. Perbedaan ini cukup bermakna, dimana penambahan trastuzumab memang bisa menurunkan kemungkinan kambuh hingga hampir separuh ketika dibandingkan dengan kemoterapi saja.

Bagaimana dengan kesintasan (yang masih hidup) pada tahun ke-4? Kelompok pasien yang diberikan kemoterapi saja, persentase yang masih hidup adalah 86% sedangkan yang diberikan kemoterapi plus trastuzumab adalah 93%. Sekali lagi, pasien kanker payudara dengan stadium awal (terlepas diberikan penambahan trastuzumab) memang memiliki kesintasan yang jauh lebih baik daripada pasien kanker payudara stadium lanjut.

Data ini sebenarnya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, trastuzumab memang efektif, namun efektifitas bisa bermakna berbeda antar orang atau antar pemangku kepentingan.  Apakah perbedaan 7% untuk pasien kanker payudara stadium awal bermakna dalam keseharian? Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab mengingat jumlah pasien kanker payudara menduduki peringkat nomer satu di Indonesia dengan perkiraan jumlah pasien baru 50,000 wanita per tahun atau 40 per 100,000 (Youlden et al 2014).  Dengan asumsi prevalensi HER2 positif adalah 20%, maka setiap tahun ada 10,000 pasien kanker payudara HER2. Belum lagi kalau merujuk ke data RS Kanker Dharmais dimana prevalensi kanker payudara tipe HER2 bahkan bisa mencapai 45%. Studi di FK Udayana Bali menemukan kasus HER2 positif mencapai hingga 64% (Widiana dan Widiana). Banyak atau sedikit?

Kedua, kemoterapi sendiri sudah memberikan kontribusi yang cukup baik sebagaimana diceritakan sejarahnya di sini. Dan untuk memaksimalkan efek terapi trastuzumab memang perlu dikombinasi dengan kemoterapi.

Dilema pembiayaan dan kualitas pelayanan?

Menurut BPJS, total penderita kanker di Indonesia adalah 4,8 juta, sedangkan pasien jantung 22 juta. Sedangkan biaya kanker (2,1 trilyun IDR) nomer dua setelah jantung. Disini ada isu alokasi pembiayaan penyakit seperti kanker yang memasuki kategori catastrophic (bencana, baik dari sisi finansial dan emosional). bagaimana kalau pembiayaan tersebut dialokasikan ke jenis kanker lain yang lebih memiliki kesempatan sembuh lebih tinggi? Apakah ketika "lepas tangan" berarti tidak peduli? Bercanda dengan maut?

Di sini perlu ditekankan bahwa pembiayaan tidak boleh menjadi satu-satunya ukuran. Tingkat pembiayaan juga harus selaras dengan EBM (evidence based medicine), bukannya harus membuat pilihan diantara keduanya. Dalam tradisi keilmuan Islam sendiri, Quran menyatakan "Qul Hatu Burhanukum inkuntum Shadiqeen" (tunjukkan bukti kalau anda berkata benar). TIdak heran, ilmuwan kedokteran Islam Ibn Sina ratusan tahun lalu sudah menetapkan dasar-dasar uji klinis untuk membuktikan efektifitas obat tertentu. Menahan pemberian obat hanya karena "mahal" tidak bisa dibenarkan. Dunia kedokteran memiliki banyak kemajuan, meski terkesan lambat, namun meskipun lambat kita justru memundurkan jarum jam. Inovasi dalam mencari solusi harus mengerahkan segenap kemampuan dan mengerahkan seluruh aset negara untuk rakyat yang sehat.

Itu sebabnya "tidak enak" menjadi pejabat, kalau tidak siap untuk kehilangan waktu istirahat dalam melayani rakyat, lebih baik serahkan kepada yang mampu. Kadang mengherankan mengapa orang berebut menjadi pejabat, padahal pertanggungjawabannya dunia akhirat. Dan jangan terbersit untuk memiliki pamrih mengeluarkan slogan 'berobat gratis' sebagai modal kampanye pemilu untuk mendulang suara pemilu.

Dalam konteks "mahal" ini perlu lebih dirinci:

Kenapa harga obat bisa 'mahal'?

Kita harus bertanya ini karena Indonesia adalah pasar yang besar. Semakin banyak volume konsumen harga bisa lebih murah. Apakah memang karena isu paten? Mana yang lebih penting, paten atau pasien? Dimana negara harus berpihak. Lalu apakah karena ada biaya riset? Apakah biaya riset harus dibebankan semua ke pasien? Bagaimaan dengan nilai keilmuan, suatu beban biaya yang memang perlu dikeluarkan sebagai kontribusi ilmu kemanusiaan? Atau karena biaya marketing (pemasaran), sponsorship yang tidak transparan, sehingga pada akhirnya pasien harus membayar itu? Kalau memang karena patent, riset, dan marketing maka perlu terobosan dan political will untuk merawat vitalitas sosial secara all out.
Cari sourcing obat setara (biosimilar), lakukan uji klinis secara parallel, efensiasikan biaya marketing dengan sponsorhip yang transparan, kuatkan penelitian biomedis dalam negeri sebagai sumber penggerak ekonomi berbasis pengetahuan. .

Kenapa harga obat tidak bisa dijangkau?

Kita harus bertanya kenapa masyarakat kita tidak bisa menjangkaunya. Apakah karena semua mahal, mulai dari pendidikan, perumahan, biaya hidup sehingga tidak ada lagi tersisa tabungan atau aset? Atau karena pajak yang terlalu tinggi dan tidak terlihat manfaatnya? Kita yakin bangsa kita adalah bangsa yang punya harga diri. Kita yakin kita tidak ingin digolongkan sebagai bangsa yang menengadahkan tangan karena para ulama dan motivator selalu mengingatkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah.

Adakah solusi?

Tidak bisa dipungkiri bahwa penanganan kanker adalah masalah kesehatan publik. Nabi Muhammad (Sallallahu alaihi wasallam) pernah mengingatkan para pemimpin bahwa mereka kelak akan dimintakan pertanggungjawaban dalam pengurusan rakyatnya. Penanganan kanker memang komplek tetapi tidak berarti kita menyerah begitu saja. Semua aset harus diberdayakan dengan cermat agar kanker tidak lagi menjadi vonis mematikan tetapi bisa dikendalikan sebagaimana penyakit kronis seperti diabetes, misalnya.

Menekan pembiayaan memerlukan perspektif luas, tidak sekedar mencari sumber obat yang lebih murah.
A. Menekan angka insiden
- mencegah influx penderita baru (perlu identifikasi faktor resiko dan tindaklanjutnya dalam kebijakan, dan deteksi dini), gaya hidup barat perlu diantisipasi karena bisa meningkatkan resiko yaitu menstruasi dini (akibat diet dengan lemak tinggi, paparan seksual media massa), lambat menikah dan anak sedikit atau tidak punya anak sebagai tuntutan pekerjaan. Antisipasi ini bisa berupa rangkaian kebijakan pemerintah yang ramah keluarga, pendidikan yang menyiapkan sosok ibu, dan penguatan laki-laki sebagai penanggungjawab nafkah keluarga. Sistem pendidikan yang memperlambat kedewasaan pria dimana jenjang SMA masih dipanggil 'anak' membuat lambannya kemandirian. Sistem pendidikan bagi wanita bukan diorientasikan untuk berebut lapangan pekerjaan dengan pria, tapi karena penyaluran bakat karena nafkah bukan tanggungjawab mereka.

- memperkuat kemampuan diagnostik dalam negeri dan menjalankan program deteksi dini nasional terutama pada wanita dengan faktor resiko (sejarah keluarga, menstruasi dini, tidak punya keturunan, tidak menyusui, terlambat menikah). Di negara maju jumlah pasien kanker yang baru saja terdiagnosa memang relatif tinggi dibandingkan dengan di negara berkembang. Namun di negara berkembang, kebanyakan pasien kanker payudara sudah terdeteksi dalam stadium lanjut. Inovasi dan uji klinis untuk menguji keandalan sistem deteksi dini sangat diperlukan sehingga industri berbasis pengetahuan (knowledge based industries) akan berkembang dan menjadi pendorong roda ekonomi non-migas.

B. Meningkatkan kualitas pelayanan yang cost-effective
- mempraktekkan precision oncology (menseleksi pasien dengan obat yang tepat, meningkatkan kemampuan untuk produksi, alih teknologi dan/atau pengadaan biosimilar terapi target seperti versi 'generik' dari trastuzumab, melakukan uji klinis efektifitas biosimilar berdasarkan data lapangan, mendorong industri kesehatan dalam negeri untuk kontribusi penelitian dengan instrumen insentif pengurangan pajak, mengawal etika bisnis dengan menghindari overselling, meningkatkan penyuluhan pada masyarakat, standarisasi kualitas fasilitas pelayanan kesehatan)
- cost-effective bukan berarti hanya mencari biaya murah, tetapi pembiayaan yang tepat sasaran. Murah tetapi tidak berdampak pada perbaikan kualitas kesehatan bukan cost-effective namanya.


C. Pemetaan kanker payudara (sisi teknologi)
- Memanfaatkan penggunaan chips dalam e-KTP, database nasional yang secure. Setiap pasien kanker dipindai datanya melalui e-KTP sehingga angka insiden kanker payudara bisa terekam dengan baik. Demikian juga data morbiditas dan mortalitas akan terekam untuk dianalisa efektifitas pelayanan kesehatan selama ini.
-Dalam pemetaan tersebut perlu kerjasama dengan aset BPS (Badan Pusat Statistik) dan Bakosurtanal untuk pemetaan 'hot spot'. Daerah yang terekam memiliki insiden kanker payudara yang tinggi bisa dianalisa profil demografinya sehingga pendanaan bisa dikucurkan secara lebih tepat sesuai dengan karakter pasien kanker yang ada.

D. Penguatan komunitas ilmiah dan profesionalisme tenaga medis klinis dan non-klinis
- Pelatihan berpikir kritis berbasis data perlu menjadi budaya arus utama. Metode ilmiah dan eksperimen sains perlu dilatih sejak dini agar publik bisa menyaring informasi yang menyesatkan. Kemandirian dan integritas keilmuan perlu dipertahankan secara transparan. Pembicara seminar atau simposium wajib menyebutkan konflik kepentingan (conflict of interests disclosures). Artinya, pembicara juga perlu menyampaikan apabila mereka juga menerima honararium, imbalan, dan/atau sumbangan dana penelitian dari sponsor baik komersil maupun non-komersil.
- Diseminasi data epidemiologi sebagai aset informasi publik harus mudah diakses sebagai modal awal untuk mengukur efektifitas program pencegahan maupun pengobatan kanker.

Ini semua memerlukan kerjasama yang erat lintas sektoral diantara pemangku kepentingan ABCG (akademisi, bisnis/industri, community (advokasi penyintas kanker), government).



Komentar

Postingan Populer