Terapi Alternatif Harapan atau Harapan Palsu bagi Pasien Kanker

Photo by Isabell Winter 

Terapi Alternatif Pasien Kanker

Oleh: Pak Ahmad

Terima kasih kepada internet, info kesehatan semakin mudah didapat. Namun apakah info tersebut merupakan harapan atau kah harapan palsu bagi pasien kanker dan keluarganya? Tentu pasien banyak menaruh harapan untuk bebas dari penyakitnya, namun juga perlu dilindungi dari informasi hoax yang membahayakan baik bagi kualitas dan harapan hidupnya.

Menurut studi terhadap pasien kanker payudara di Malaysia, terapi alternatif adalah

Complementary and alternative medicine is defined as “a group of diverse medical and healthcare systems, practices, and products that are not generally considered as a part of conventional medicine.” Other terms used to describe these health care practices include natural medicine, nonconventional medicine, integrative medicine, and holistic medicine.
Dari definisi di atas, nampak bahwa terapi alternatif berbeda dari terapi konvensional, terutama dari sisi regulasi dan standarisasi nya. Studi di atas juga melaporkan bahwa mayoritas pasien pengguna terapi alternatif (80% responden) tidak menginformasikan ke dokternya dan merasa nyaman dengan terapi alternatif karena tidak ada efek samping. Padahal tanpa pendampingan tenaga kesehatan profesional akan bisa memberikan dampak kontraindikasi apabila terapi alternatif dijalankan bersamaan dengan terapi konvensional.

Terapi alternatif sebagai Harapan 

Situs Mayo Clinic menyarankan bahwa terapi alternatif bisa memberikan harapan kepada pasien kanker terkait mitigasi efek samping dan berperan sebagai pendukung --bukan terpisah dari-- terapi konvensional kanker.

Contoh penggunaan terapi alternatif yang bisa memberikan motivasi positif kepada pasien kanker ketika menjalani terapi konvensional sehingga meningkatkan harapan untuk mendapatkan hasil terbaik di antaranya adalah:

Photo by Antonika Chanel on Unsplash

  • Akupunktur

    • Ketika diberikan oleh tenaga terlatih bisa mengurangi rasa mual akibat kemoterapi
    • Tidak dianjurkan pada pasien yang diberikan pengencer darah atau mengalami jumlah darah rendah. 

  • Aromaterapi
    • Sensasi wangi dari terapi ini bisa mengurangi kadar stress, rasa sakit, dan mual pada pasien kanker ketika sedang menjalani kemoterapi.  

  • Yoga
    • Kombinasi peregangan otot dan pernafasan dalam Yoga juga bisa membantu pasien kanker untuk mengelola stress yang mereka hadapi, membuat tidur lebih nyenyak dan mengatasi keletihan.

Photo by Ieva Vizule on Unsplash

Sedangkan situs CancerResearchUK menuturkan bahwa terapi alternatif berbasis konsumsi herbal juga menjadi favorit di kalangan pasien kanker yang sedang menjalani pengobatan konvensional. Mereka meyakini konsumsi herbal tidak memiliki efek samping dan membantu memiliki rasa kendali terhadap pengobatan anti kanker yang sedang mereka jalani.

Akan tetapi perlu diingat bahwa pasien kanker perlu mengkomunikasikan kepada dokter yang merawatnya mengenai herbal yang mereka konsumsi. Sebagian herbal bisa menyebabkan hilangnya peredaran obat anti kanker dari dalam tubuh pasien sehingga obat antikanker menjadi tidak efektif. Demikian juga, ginseng bisa menimbulkan efek perdarahan setelah tindakan bedah.

Terapi Alternatif, Harapan Palsu? 

Dalam studi yang lain di Malaysia menyimpulkan pentingnya edukasi kepada pasien kanker pengguna terapi alternatif terkait keamanan dan waktu konsumsinya agar tidak berkontraindikasi dengan terapi konvensional. Di saat yang sama, sebagian produk herbal dan modalitas terapi alternatif secara independen dari terapi konvensional diklaim mampu menyembuhkan kanker. Hal ini menjadi keprihatinan bersama mengingat pasien kanker dan keluarganya memang rentan tereksploitasi dan terbujuk oleh klaim seperti itu.

Jarang diketahui oleh masyakarat bahwa terapi kanker yang dianggap 'konvensional' atau 'mainstream' memiliki sejarah penelitian yang lama, panjang dan melalui proses regulasi yang ketat.
Pertanyaan besarnya adalah," Apa bukti bahwa suatu terapi atau obat memberikan dampak penyembuhan terhadap kanker?"
Mengapa bukti penting? Karena di sini ada masalah etika dan hukum. Apakah etis memberikan suatu pelayanan kesehatan yang tidak jelas buktinya, kepada pasien yang benar-benar membutuhkan? Apakah pelakunya bisa mendapatkan sanksi pidana atau kompensasi finansial apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan?

Masalahnya ada di konsep 'pembuktian' yang ada di benak khalayak umum tidak selalu sama dengan yang ada di benak para pakar atau ilmuwan.

Apakah Testimoni merupakan 'Bukti'?
Apakah metode atau obat 'alami' lebih manjur dibanding proses kimiawi atau buatan manusia?

Kalau kita tengok ke belakang terkait sejarah kedokteran, kita bisa pelajari apa yang ada di benak Ibn Sina terkait pembuktian suatu obat atau terapi (Dunia barat mengenalnya sebagai Avicenna 980-1037 CE), seorang ilmuwan yang hidup semasa Khilafah Abbasiyah.

Pembuktian Efektifitas Terapi atau Obat melalui Uji Klinis (Ibn Sina hingga Modern)


Ibn Sina menulis buku "The Canon of Medicine" (Qanun at Tibb) yang pernah menjadi standar buku ajar di Eropa selama beberapa abad. Meskipun obat atau terapi yang disebut di dalam buku tersebut tentu sudah ketinggalan jaman, namun metoda berpikirnya yang menjadi pelajaran penting terkait praktek kedokteran.

Ibn Sina tidak serta merta mempercayai secara mentah-mentah apa yang diklaim oleh tokoh2 Yunani kuno terkait bidang kesehatan dan penyakit seperti Galen, misalnya. Ibn Sina menekankan pentingnya "tajriba" (percobaan atau uji klinis untuk membuktikan efektifitas suatu zat obat atau modalitas terapi).  Ibn Sina lalu menggarisbawahi tujuh hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan uji klinis.
  1. Obat haruslah murni
  2. Obat harus diuji pada indikasi penyakit yang spesifik
  3. Harus ada 2 kelompok pasien, yaitu kelompok uji, dan kelompok kontrol
  4. Perlu ada observasi dampak eskalasi atau peningkatan dosis obat
  5. Hasil pengobatan perlu diobservasi dalam waktu lama (penelitian prospektif)
  6. Percobaan harus bisa diulang dengan hasil yang sama 
  7. Percobaan perlu dilakukan pada manusia, tidak hanya hewan coba
Seorang mahasiswa kedokteran jaman now ketika membaca ini pasti akan teringat buku ajarnya tentang konsep uji klinis modern. Bedanya, uji klinis modern sudah menggunakan teknik statistik yang kompleks sehingga bisa memperhitungkan probabilitas efektifitas obat dan jumlah pasien yang perlu diuji untuk membuat kesimpulan apakah obat baru atau teknik baru bisa digunakan sebagai obat standar. 

Uji klinis obat kanker modern banyak menggunakan konsep yang Ibn Sina dulu pernah sampaikan secara umum. Khusus untuk uji klinis kanker, para peneliti juga memperhatikan dua aspek pengukuran dan penilaian:
  • Aspek keamanan (efek samping, toksisitas seperti mual, kelelahan, kerontokan rambut, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi, kualitas hidup secara umum)
  • Aspek efektifitas 
    • Response rate (respon tumor terhadap obat)
      • Complete Response tumor menghilang 
      • Partial response atau tumor mengecil
      • Stable tumor tidak membesar tapi juga tidak mengecil
      • Progression tumor memburuk
    • Survival (kesintasan dari aspek waktu)
      • Progression Free Survival (waktu kapan kekambuhan terjadi paska diobati),
      • Overall Survival  waktu kapan kematian terjadi )
Dari kriteria pengukuran di atas, maka penting apa yang Ibn Sina kemukakan terkait harus adanya dua kelompok pasien: kelompok uji dan kelompok kontrol, atau kelompok dengan terapi A yang akan dibandingkan hasilnya (response rate, survival, efek samping) dengan pasien kelompok dengan terapi B. Klaim dari sebagian produk terapi alternatif atau herbal tidak memiliki data kriteria seperti di atas, sehingga tidak bisa dan (seharusnya) tidak boleh menjadi layanan komersil buat pasien kanker. 

Sangat diharapkan agar publik bisa memahami konsep ini, karena banyak sekali klaim pengobatan atau inovasi pengobatan penyembuh kanker bersliweran di media sosial, tetapi tidak mampu menyajikan data seperti ini. Testimoni dalam pengobatan tidak bisa diterima sebagai standar, karena testimoni cenderung mengabarkan kisah sukses, sedangkan pasien yang tidak sukses jarang atau malah tidak berani bertestimoni negatif mungkin karena takut dikenai pasal pencemaran nama baik. 

Untuk pendalaman bagaimana uji klinis dilakukan bisa dilihat di sini

Efektifitas

Obat bisa saja aman, tapi juga tidak efektif sehingga pemberian obat ini tentu tidak etis, apalagi kalau tidak aman dan tidak efektif. Ada kalanya, obat akan menghasilkan respon yang baik, dimana tumor cepat hilang, tetapi ternyata kekambuhan juga cepat terjadi. Padahal tentu harapan pasien adalah tidak hanya tumornya hilang tapi juga jangan sampai kambuh lagi hingga waktu yang lama. 

Salah satu standar emas dalam penilaian efektifitas terapi kanker adalah dengan melihat kurva kesintasan, atau sering disebut grafik Kaplan Meier Survival Curve yang jamak ditemukan dalam artikel penelitian kesehatan.Sebagaimana apa yang Ibn Sina sebutkan, observasi waktu ini penting untuk mengamati dampak atau efektitifas suatu obat atau terapi dalam jangka panjang.  Contoh 


Contoh Data Kesintasan (Survival) Pasien yang diterapi dengan Terapi A vs Pasien diterapi dengan Terapi B. Data ini memenuhi kaidah uji klinik Ibn Sina, dan juga uji klinik modern. Terapi atau obat yang diberikan harus murni, dan indikasi pasien harus spesifik penyakitnya, Kesintasan pasien juga harus diamati dalam waktu yang panjang (studi prospektif). Dalam grafik ini nampak bahwa ada perbedaan kesintasan antara pasien yang diterapi A dibanding dengan terapi B. Dalam contoh di atas, Terapi A layak menjadi standar terapi pasien. Seandainya pasien memahami data ini, mungkin pasien tidak akan membayar biaya terapi B. 

Yang memprihatinkan adalah data kesintasan pasien kanker yang diterapi secara konvensional dan pasien kanker yang memilih untuk menolak terapi konvensional, dan memilih terapi alternatif. Di tahun 2017, tim peneliti dari Yale University mempublikasikan temuannya membandingkan kesintasan pasien kanker yang menjalani terapi kanker konvensional (N=560 pasien) vs pasien kanker yang menolak terapi konvensional dan memilih untuk melakukan terapi alternatif secara independen (N=280). Data kesintasan Kaplan Meier Survival Curve nya terlihat sebagai berikut.
Grafik Kesintasan (Survival) Kaplan Meier Curve. Grafik A adalah grafik kesintasan antara pasien kanker yang diterapi secara konvensional (garis putus-putus) dibandingkan dengan pasien kanker yang menolak terapi konvensional dan memilih terapi alternatif secara mandiri (garis keras). Grafik B menunjukkan kesintasan pasien kanker payudara yang diterapi secara konvensional (garis putus-putus) vs pasien kanker payudara diterapi secara terapi alternatif (garis keras). Dari dua grafik di atas nampak bahwa pemberian terapi alternatif pada pasien kanker secara umum bisa membahayakan atau minimal memberikan harapan palsu. 

Survival atau kesintasan pasien kanker paru
diterapi secara konvensional
(garis putus-putus) vs diterapi alternatif (garis keras)

Studi dari Taiwan yang melibatkan tidak kurang dari 35 ribu pasien yang terdiagnosa kanker payudara sejak tahun 2004 hingga 2010, dan follow up terakhir tahun 2012,  memberikan kita dua macam pelajaran. Pertama, pentingnya pusat registrasi kanker untuk memantau angka insiden secara akurat dan menyimpan informasi terapi dan kesintasan pasien secara nasional. Kedua, kita bisa melihat dampak kesintasan akibat penolakan pasien kanker payudara terhadap terapi konvensional. Tentu sangat tidak beretika, untuk membandingkan kesintasan antara pasien yang dirandomisasi untuk diberikan terapi vs tanpa terapi. Namun pasien yang secara sadar menolak untuk diterapi memberikan kita informasi apakah ada perbedaan kesintasan yang bermakna. Ironisnya, pasien kanker payudara Taiwan ini 100% bisa mengakses asuransi nasional, jadi penolakan terapi kanker payudara bukan disebabkan oleh faktor finansial.

Data dibawah ini menunjukkan bahwa 3,5% atau 1,243 pasien yang menolak diterapi (atau terlambat terapi 4 bulan paska diagnosis) memiliki survival atau probabilitas kesintasan lebih kecil dibandingkan kelompok pasien yang mengikuti terapi konvensional (bedah, kemoterapi, radioterapi, terapi target).
Kesintasan pasien kanker payudara yang menolak terapi konvensional (garis putus) lebih buruk daripada pasien yang menjalani terapi konvensional (garis keras) (Chen et al 201

Kebijakan Kesehatan Publik Kedokteran Islam - Pandangan Ibn Qayyim 

Ibn Qayyim al Jawziyah yang hidup semasa Khilafah Abbasiya menegaskan pentingnya sistem kebijakan publik yang melindungi pasien dari praktek kedokteran yang tidak mengindahkan kompetensi praktisi kesehatan (dokter) dan kualitas pengobatannya.

Hal ini berdasarkan pernyataan Nabi Muhammad saaw sebagai berikut:
Dari Abdul Aziz bin Umar bin Abdul ‘Aziz, ia berkata, “Telah 
diriwayatkan kepadaku oleh sebagian utusan yang diutus kepada 
bapakku, ia berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda, 'Siapa saja 
seorang dokter yang mengobati satu kaum sedangkan sebelumnya 
tidak diketahui bahwa dirinya dapat mengobati dan kemudian 
mencelakakan (pasien), maka ia harus bertanggungjawab ’. ”
Berdasarkan hadith ini, Ibn Qayyim merinci konsekuensi malpraktek yang dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki kompetensi untuk melayani pasien

  • Praktisi kedokteran (dokter, tabib) yang tidak kompeten bertanggungjawab terhadap resiko kesehatan pasien akibat tindakannya
  • Praktisi yang tidak kompeten tersebut bertanggungjawab secara finansial
  • Seorang praktisi (dokter, tabib) yang memiliki kompetensi, bertindak secara bertanggungjawab, dan mendapatkan ijin dari pasien, lalu membuat kesalahan, maka ia tidak memiliki 'liability' terhadap kesalahannya
  • Apabila pasien secara sadar bahwa ia telah berobat ke seseorang yang tidak memiliki kompetensi melakukan praktek kedokteran, maka ia tidak bisa menuntut kompensasi akibat tindakan yang ia terima. Namun, seseorang yang tidak memiliki kompetensi tersebut telah melakukan tindakan membahayakan pasiennya tetap akan diadili oleh Allah azza wa Jall di hari Kiamat kelak
  • Apabila seorang pasien datang kepada seseorang tanpa mengetahui kompetensi kedokterannya, dan orang tersebut tetap melakukan tindakan medis tanpa memberitahukan bahwa sebenarnya ia tidak memiliki kompetensi maka ia tetap memiliki 'liability'
  • Apabila seorang dokter yang memiliki kompetensi kedokteran dan ia melakukan kesalahan dalam memberikan obat dan/atau menghasilkan kematian pasiennya, maka ada dua kemungkinan. Pertama kompensasi finansial (diyat) dibayarkan dari Baitul Mal (State Treasury of the Caliphate). Kedua, kompensasi dibayarkan oleh dokter itu sendiri. 
Apa yang kita lihat saat ini adalah dampak literasi terhadap informasi. Masyarakat awam dan kalangan terdidik darinya pun tidak luput dari narasi klaim penyembuhan yang cenderung menyesatkan. Maka kita bisa belajar dari sejarah peradaban Islam bahwa pembuktian adalah hal penting bagi pengobatan secara umum, dan pengobatan kanker khususnya mengingat kerentanan pasien dan keluarganya dari jebakan komersialisasi pengobatan yang belum terbukti.

Ibn Sina mengajari kita konsep utama uji klinis, dan Ibn Qayyim menegaskan perintah Nabi Muhammad Saaw bahwa praktisi kedokteran harus memiliki kompentensi dan siap bertanggungjawab dengan resiko pembayaran kompensasi. Hal ini tentu bagian dari upaya perlindungan masyarakat untuk mendapatkan kualitas layanan kesehatan terbaik berbasis bukti. Fakta pembayaran kompensasi ditanggung oleh Baytul Mal (State Treasury) menunjukkan kepedulian Khalifah terhadap kesehatan rakyatnya dan menjaga agar mereka benar-benar dirawat oleh ahli kesehatan yang memang memiliki kepakaran dalam bidangnya.

Referensi:

  1. Kassim, Puteri Nemie Jahn. “Medical Negligence in Islamic Law.” Arab Law Quarterly, vol. 20, no. 4, 2006, pp. 400–410. JSTOR, www.jstor.org/stable/27650564.
  2. AL-JAUZIYAH, Ibn-Qayyim. 2003. Healing with the Medicine of the Prophet, Riyadh, Darussalam.
  3. Skyler B Johnson, Henry S Park, Cary P Gross, James B Yu, Use of Alternative Medicine for Cancer and Its Impact on Survival, JNCI: Journal of the National Cancer Institute, Volume 110, Issue 1, January 2018, Pages 121–124, https://doi.org/10.1093/jnci/djx145


Komentar

Postingan Populer